Jangan Tanyakan Berapa Salahnya
Aku bukanlah seorang peneliti pendidikan, aku hanyalah
seorang guru biasa yang baru 15 tahun mengabdi kepada NKRI tercinta ini.
Renungan ini tercetus saat aku mengerjakan analisis hasil try out US 2014.
Kupandang silangan-silangan kesalahan hasil pekerjaan anak-anak. Bertahun-tahun
kulakukan ini, dan kuanggap sudah biasa. Baru sekarang aku berpikir, mengapa
harus yang salah yang kusilang?, mungkin hal ini berkaitan dengan keefektifan
pola menghitungku. Andai salah 5, skor 2, berarti nilai anak 90. Mengapa tidak
kubalik saja, benar 45, skor 2, nilainya 90. Nah, pada pemikiran inilah aku
terpaku sendiri.
Pikiranku berputar, inti dari
evaluasi kegiatan untuk mengetahui seberapa besar keberhasilan pengajaran
dengan berpatokan pada standar yang telah ditetapkan.selain itu saat
ujian, anak ditumbuhkan sikap mandiri,
jujur, dan bertanggung jawab terhadap hasil pekerjaannya. Lebih khusus lagi, Inti dari kemandirian adalah keberanian untuk
menghadapi tantangan, namun ternyata selama ini aku telah menumbuhkan rasa
minder kepada anak-anakku secara masif dan terus menerus.
Tiap kali mengoreksi hasil ulangan,
selalu kutanyakan,”Salah berapa?”. Dengan ringan aku menyilang lembar analisis
butir soal dengan tanda silang di nomor yang salah. Apalagi setelah itu lembar
analisis kupampangkan, dan silangan itu nampak jelas dari kejauhan.
Betapa kejam aku selama ini yang
menutupi kebenaran hasil kerja anak-anakku dengan salah yang kutampakkan
mencolok mata. Mengapa mataku tertutup selama ini?, hampir setiap hari
kutorehkan rasa minder kepada anak-anakku tanpa kusadari. Kalau kuhitung
mundur, bermunculan banyak wajah yang pernah kuminderkan. Bahkan, meski hanya salah
satu, ketika anak yang pandai kutanya kesalahannya, yang nampak adalah
kemuraman di wajahnya atau bahkan cenderung menyalahkan dirinya sendiri mengapa
dia masih salah , meski pun cuma satu.
Hari berikutnya kucoba membalik
caraku menganalisis kebenaran jawaban anak-anak dengan menanyakan nomor-nomor
yang benar. Ternyata , mereka dengan bangga menyebutkan nomor yang benar,
bahkan salah seorang anak yang memang lemah di mata pelajaranku, bersemangat
menyebutkan nomornya, meski pun dia benar hanya sepuluh soal. Bayangkan?begitu
menyentuh hati melihat sinar kebahagiaan dari mata anak yang benar sepuluh
soal dari lima puluh soal. Bahkan ketika
diolok temannya dengan bangga dia berkata,”Untung aku masih ada yang benar?”.
Berbanding terbalik ketika kemarin dia dengan lesu mengurut kesalahannya
kemarin.
Andai tiap anak kupandang dengan
melihat benarnya sejak dulu, tentulah aku akan melihat satu sinar kebanggaan
dari matanya untuk setiap satu kebenarannya. Dua kebenaran, tiga kebenaran, dan
seterusnya, hingga puluhan atau bahkan lebih sinar kebanggaan yang mewarnai
hari-hari mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar