USTAZ KORUPTOR (2)
Kagetku
atas ucap nenek Ustaz Bisri berlanjut hingga tanpa sadar ketika seseorang
menemuiku di ruang ngaji TPQ. Ya, sesudah salat Isya berjamaah tadi, juga
setelah mendengar sesuatu di luar dugaanku, aku memilh menyepi di ruang sini daripada
beramah tamah dengan para tamu di pendapa masjid.
Ruang
TPQ ini dulu tempatku bermain ayun-ayunan bersama teman-teman. Ayunanku pun
masih ada. Di mana? Di sana di halaman depan masjid.
“
Assalamualaikum, Mbak Kinanthi, boleh aku masuk?” suara bening itu membuatku
menoleh ke arah pintu. Di sana berdiri sosok sang penawanku tadi sore. Ustaz
Bisri!
“Waalaikum
salam Wr.Wb.” jawabku sambil menyilakan masuk.
“Mohon maaf jika ucap nenekku membuatmu jadi ilfil dan salting. Tapi ucap beliau itu benar. Aku memang memberitahu beliau
bahwa sekarang aku sudah menemukan danau untuk kurenangi. Bening sinar matamu
membuatku lseketika memutuskan bahwa kaulah seseorang yang akan kupinang.
Tapi...”
Ya,
Ustaz Bisri sangatlah bijaksana dengan berkata bahwa bertepuk itu haruslah
dengan dua tangan. Jodoh memang di tangan Allah, tapi tetap harus ada ikhtiar
untuk menemukannya.
Ini
ikhtiarnya. Mana ikhtiarku? Hiks.
Aku
terdiam. Lelahku selama perjalanan, juga riuhnya acara tentang sang koruptor,
membuatku tidak bisa mengeluarkan kata-kata. Barangkali senyumku saja yang
kukirim untuk membalas ucapnya. Senyumku berbalas senyum menawan. Teramat
memikat, dan balasan senyum itulah yang menghilangkan kesadaranku. Pandanganku
berkunang-kunang, mengabur, dan gelap akhirnya!
“Kin,
Kin...sadar. sadar, Ndhuk...”
lamat-lamat terdengar suara ibu. Kubuka mataku.
“Minum
ini,” ujar ibu sambil mengangsurkan segelas teh hangat. Ternyata aku sudah
berada di kamar.
“Sejak
datang kamu kan belum makan apa-apa. Calon dokter kok semaput, ngisin-isinni!” lanjut ucap ibu. Ibu keluar kamar sat
terdengar ketukan lirih di pintu.
“Alhamdulillah,
Mbak Kinanthi sudah sadar. Perkenankan kami sekeluarga pamit, dulu, Ibu...”
kudengar suara tenang dan dalam itu lagi. malu juga pingsan di saat ada
pemandangan alam yang indah?wkwkwk
Wahai
kenyataan benarkah apa yang kualami ini? Kupukul kepalaku berulangkali. Tidak
percaya sama sekali. Hingga...ibu masuk kembali.
“Ini,
ibu dititipi nomor hape Ustaz Bisri.”
Ibu mengulurkan selembar kertas nota, tertera jajaran angka di situ. Ada berapa
nomor, nih? wow, sang penawan punya tiga
nomor hape. Aduh, aduh, aduh...
***
Tidak
terjadi apa-apa hingga dua hari sesudahnya. Tiga nomor baru yang kusimpan pun
tidak bergerak untuk menyapaku. Beginikah rasanya berteman dengan seorang
ustaz?
Hingga
kuterlonjak dari kegiatanku menolong bapak menyapu masjid tadi pagi.
Ternyata...
“Gimana
dia akan menyapamu, wong dia nggak punya nomormu. Gendheng tah piye awakmu iki Kin, Kin...” suara hatiku
menyalahkanku. Iya, ya...
Demi
kesopanan, akhirnya kusapa juga sang penawanku di salah satu nomornya.
***
Siangnya,
sesudah jamaah salat Zuhur, aku diajak ngomong serius oleh bapak ibu.
“Besok
hari Jumat, ustaz Bisri waktunya ngisi pengajian ibu-ibu bada asyar, lalu
malamnya yasinan bapak-bapak. Otomatis kita pastilah ngobrol, nah, minimal
bapak ibu punya bahan omongan untuk menjawab apa permintaan keluarganya.” Bapak
membuka pembicaraan yang memang sudah kutahu pasti kan tiba entah kapan.
“Tapi
aku belum mengenal Simasnya, Pak. Nggak enaklah dibilang mo dipinang ma
seseorang tapi nggak pedekate dulu,”
jawabku sambil mecucu.
“Kamu
nolak?” seru ibu tertahan.
“Mboten.
Bukannya aku nolak, tapi begini, bapak ibu. Mungkin aku tetap ingin tahu dan
mengenal dulu siapa Mas Bisri....”
Ayah
mengangguk paham. Hanya ibu yang...
“Ndhuk, kamu nyari suami yang seperti
apa? Ustaz Bisri itu sudah paket lengkap.Ya ganteng, berilmu, berada, juga...”
“Ibu,...aku
nggak nolak tapi juga belum siap mengiyakan. Aku hanya minta waktu untuk mengenalnya.
Kuliahku baru masuk semester lima, seminggu lagi aku juga sudah berangkat lagi.
maksudku,acara pinangan dan sebagainya nantilah kalau aku sudah siap.”
“Kapan
itu? Dua tahun lagi kan pulangmu? Atau saat wisuda? Ustaz Bisri sudah laku saat
itu...Ndhuk, Ndhuk...,” keluh ibu
membungkam semua kataku. Ya, yang pasti aku kan jauh di Makassar, biaya naik
pesawat kan mahal lagipula tugas praktikum segunung, nggak bisalah aku pulang
pergi semauku.
“Aku
bisa pulang ini pun karena punya uang lebih dari honor nulisku,Bu,” ucapku
membela diri. Aku tidak bermaksud apa-apa, atau memojokkan beliau berdua, tidak!
Berangkat dari mahasiswa bidikmisi aku memang berkekurangan secara materi.
Namun aku pantang menyerah!
“Makanya,
kalau kamu mau dilamar Ustaz Bisri, enakkan nanti ada yang mbantu mbiyayai
kuliahmu,” kejar ibu sambil menatapku lekat-lekat. “Paling tidak, bisa sering
pulang. Bisa...
“Ibu,
dipikir dulu apa kalo bicara. Masyaallah...” seru bapak keras. Ibu terdiam
seketika. Aku memaklumi, sangat paham ke arah mana ucap ibu. Tolok ukur
ekonomilah yang membuat ibu sangat berharap aku mau menerima pinangan Ustaz
Bisri.
“Sudahlah,
nanti kita pikir lagi. intinya semua mbalik
nang sing nglakoni. Dipertimbangkan dulu baik-baik. Toh keluarga Ustaz
Bisri nggak akan memaksa kita secepatnya,” ujar bapak menutup diskusi keluarga
siang ini.
***
Kubuka
hapeku. Beberapa pesan telah masuk sejak pagi tadi melihat jam terkirimnya.
Alah,biasa. Mas sinyal lelet memasukkannya siang ini!
WA
dari Ustazku! (Ehm...malu dikit juga bilang ustazku..)
“Dulu kamu sekolah di MTs Negeri 9 Jember,
kan? Aku pernah promosi madrasahku ke situ. Dan...
Ah,
panjang lebar yang ditulisnya mengingatkanku pada seseorang!
Gini,
saat itu kan semua siswa berkumpul di aula. Nah, kebetulan aku menuju kamar
mandi putri saat kulihat seseorang yang kesulitan bernapas di ujung lorong
kamar mandi putra. Kuberlari mendekat, ternyata salah satu tamu dari aliyah. Usut
punya usut, dia alergi debu kapur tulis!
Sebagai
salah satu anggota tim PMR, spontanku menolong dengan cara-cara yang sudah
kupelajari, dan sesegera mungkin kubawa ke ruang UKS. Alhamdulillah, beberapa
teman lain segera datang membantu.
Secepat
aku selesai menolong, kumemanggil guru di aula. Begitulah. Aku melupakan apa
yang sudah terjadi hingga detik kubaca tulisan panjang di WA. Ternyata
dianya...hehehe.
Yang
membuatku terkesima adalah dia menulis...
“Kakak, sadarlah. Sembuhlah. Andai aku bisa
menggantikan rasa sakitmu akan kuminta Allah tuk mengizinkanku membantu
menanggungnya. Kakak...bernapaslah, ayo...”
Ya
iyalah itu kalimat saktiku tiap menolong siapa pun. Tentu saja aku tlah hapal
di luar kepala dengan sedikit mengubah redaksi kalimat tentunya!
“Kulihat kakak datang dari kota, inginku juga
sekolah di sana, inginku bahkan masuk perguruan tinggi nantinya. Semoga kita
bertemu, ya Kak?”
“Aku kehilangan
semangat hidup karena penyakitku. Tak ada sesuatu yang bisa membangkitkan
motivasi hidupku hingga hari itu. Hingga kalimat-kalimatmu meluncur mengetuk
lubuk hati. Kinan. Kinanthi. Nama yang tlah jauh lama kutulis hingga akhirnya
jumpa kembali. Subhanallah. Takdir Allah begitu indah, tanpa pernah kusadari
bahwa pertemuan sekarang pun tlah diatur oleh-Nya!”
Aduh
aduh aduh, bukan baper lagi namanya
saat membaca tulisan itu,aku seakan dejavu
dengan masa lalu. Sebegitukah artiku baginya?
***
Dan
tibalah saatnya.
Ku
berdiri di ujung pintu masuk pesawat. Tiket kugenggam erat setelah lolos dari
pintu pemeriksaan. Bapak pun sudah kembali ke kampung setelah mengantarkanku ke
bandara. Ya, aku naik pikep bapak, biasa, setor pisang ke pasar Bungurasih
seminggu sekali.
Tiket
kutatap sekali lagi. kulihat posisi duduk di kursi 29B. Nah...
Mataku
terbelalak. Di kursi 29A kulihat sepotong wajah yang telah mengharubiruku
seminggu ini, mengorupsi hatiku habis-habisan, mengirim senyum seindah pelangi!
Cuthel
Jember,
30 Januari 2018 (14.10 WIB)
Eni
Siti Nurhayati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar