Halaman

Translate

Rabu, 04 April 2018


USTAZ KORUPTOR (2)
Kagetku atas ucap nenek Ustaz Bisri berlanjut hingga tanpa sadar ketika seseorang menemuiku di ruang ngaji TPQ. Ya, sesudah salat Isya berjamaah tadi, juga setelah mendengar sesuatu di luar dugaanku, aku memilh menyepi di ruang sini daripada beramah tamah dengan para tamu di pendapa masjid.
Ruang TPQ ini dulu tempatku bermain ayun-ayunan bersama teman-teman. Ayunanku pun masih ada. Di mana? Di sana di halaman depan masjid.
“ Assalamualaikum, Mbak Kinanthi, boleh aku masuk?” suara bening itu membuatku menoleh ke arah pintu. Di sana berdiri sosok sang penawanku tadi sore. Ustaz Bisri!
“Waalaikum salam Wr.Wb.” jawabku sambil menyilakan masuk.
 “Mohon maaf jika ucap nenekku membuatmu jadi ilfil dan salting. Tapi ucap beliau itu benar. Aku memang memberitahu beliau bahwa sekarang aku sudah menemukan danau untuk kurenangi. Bening sinar matamu membuatku lseketika memutuskan bahwa kaulah seseorang yang akan kupinang. Tapi...”
Ya, Ustaz Bisri sangatlah bijaksana dengan berkata bahwa bertepuk itu haruslah dengan dua tangan. Jodoh memang di tangan Allah, tapi tetap harus ada ikhtiar untuk menemukannya.
Ini ikhtiarnya. Mana ikhtiarku? Hiks.
Aku terdiam. Lelahku selama perjalanan, juga riuhnya acara tentang sang koruptor, membuatku tidak bisa mengeluarkan kata-kata. Barangkali senyumku saja yang kukirim untuk membalas ucapnya. Senyumku berbalas senyum menawan. Teramat memikat, dan balasan senyum itulah yang menghilangkan kesadaranku. Pandanganku berkunang-kunang, mengabur, dan gelap akhirnya!
“Kin, Kin...sadar. sadar, Ndhuk...” lamat-lamat terdengar suara ibu. Kubuka mataku.
“Minum ini,” ujar ibu sambil mengangsurkan segelas teh hangat. Ternyata aku sudah berada di kamar.
“Sejak datang kamu kan belum makan apa-apa. Calon dokter kok semaput, ngisin-isinni!” lanjut ucap ibu. Ibu keluar kamar sat terdengar ketukan lirih di pintu.
“Alhamdulillah, Mbak Kinanthi sudah sadar. Perkenankan kami sekeluarga pamit, dulu, Ibu...” kudengar suara tenang dan dalam itu lagi. malu juga pingsan di saat ada pemandangan alam yang indah?wkwkwk
Wahai kenyataan benarkah apa yang kualami ini? Kupukul kepalaku berulangkali. Tidak percaya sama sekali. Hingga...ibu masuk kembali.
“Ini, ibu dititipi nomor hape Ustaz Bisri.” Ibu mengulurkan selembar kertas nota, tertera jajaran angka di situ. Ada berapa nomor, nih? wow, sang penawan  punya tiga nomor hape. Aduh, aduh, aduh...
***
Tidak terjadi apa-apa hingga dua hari sesudahnya. Tiga nomor baru yang kusimpan pun tidak bergerak untuk menyapaku. Beginikah rasanya berteman dengan seorang ustaz?
Hingga kuterlonjak dari kegiatanku menolong bapak menyapu masjid tadi pagi. Ternyata...
“Gimana dia akan menyapamu, wong dia nggak punya nomormu. Gendheng tah piye awakmu iki Kin, Kin...” suara hatiku menyalahkanku. Iya, ya...
Demi kesopanan, akhirnya kusapa juga sang penawanku di salah satu nomornya.
***
Siangnya, sesudah jamaah salat Zuhur, aku diajak ngomong serius oleh bapak ibu.
“Besok hari Jumat, ustaz Bisri waktunya ngisi pengajian ibu-ibu bada asyar, lalu malamnya yasinan bapak-bapak. Otomatis kita pastilah ngobrol, nah, minimal bapak ibu punya bahan omongan untuk menjawab apa permintaan keluarganya.” Bapak membuka pembicaraan yang memang sudah kutahu pasti kan tiba entah kapan.
“Tapi aku belum mengenal Simasnya, Pak. Nggak enaklah dibilang mo dipinang ma seseorang tapi nggak pedekate dulu,” jawabku sambil mecucu.
“Kamu nolak?” seru ibu tertahan.
 Mboten. Bukannya aku nolak, tapi begini, bapak ibu. Mungkin aku tetap ingin tahu dan mengenal dulu siapa Mas Bisri....”
Ayah mengangguk paham. Hanya ibu yang...
Ndhuk, kamu nyari suami yang seperti apa? Ustaz Bisri itu sudah paket lengkap.Ya ganteng, berilmu, berada, juga...”
“Ibu,...aku nggak nolak tapi juga belum siap mengiyakan. Aku hanya minta waktu untuk mengenalnya. Kuliahku baru masuk semester lima, seminggu lagi aku juga sudah berangkat lagi. maksudku,acara pinangan dan sebagainya nantilah kalau aku sudah siap.”
“Kapan itu? Dua tahun lagi kan pulangmu? Atau saat wisuda? Ustaz Bisri sudah laku saat itu...Ndhuk, Ndhuk...,” keluh ibu membungkam semua kataku. Ya, yang pasti aku kan jauh di Makassar, biaya naik pesawat kan mahal lagipula tugas praktikum segunung, nggak bisalah aku pulang pergi semauku.
“Aku bisa pulang ini pun karena punya uang lebih dari honor nulisku,Bu,” ucapku membela diri. Aku tidak bermaksud apa-apa, atau memojokkan beliau berdua, tidak! Berangkat dari mahasiswa bidikmisi aku memang berkekurangan secara materi. Namun aku pantang menyerah!
“Makanya, kalau kamu mau dilamar Ustaz Bisri, enakkan nanti ada yang mbantu mbiyayai kuliahmu,” kejar ibu sambil menatapku lekat-lekat. “Paling tidak, bisa sering pulang. Bisa...
“Ibu, dipikir dulu apa kalo bicara. Masyaallah...” seru bapak keras. Ibu terdiam seketika. Aku memaklumi, sangat paham ke arah mana ucap ibu. Tolok ukur ekonomilah yang membuat ibu sangat berharap aku mau menerima pinangan Ustaz Bisri.
“Sudahlah, nanti kita pikir lagi. intinya semua mbalik nang sing nglakoni. Dipertimbangkan dulu baik-baik. Toh keluarga Ustaz Bisri nggak akan memaksa kita secepatnya,” ujar bapak menutup diskusi keluarga siang ini.
***

Kubuka hapeku. Beberapa pesan telah masuk sejak pagi tadi melihat jam terkirimnya. Alah,biasa. Mas sinyal lelet memasukkannya siang ini!
WA dari Ustazku! (Ehm...malu dikit juga bilang ustazku..)
Dulu kamu sekolah di MTs Negeri 9 Jember, kan? Aku pernah promosi madrasahku ke situ. Dan...
Ah, panjang lebar yang ditulisnya mengingatkanku pada seseorang!
Gini, saat itu kan semua siswa berkumpul di aula. Nah, kebetulan aku menuju kamar mandi putri saat kulihat seseorang yang kesulitan bernapas di ujung lorong kamar mandi putra. Kuberlari mendekat, ternyata salah satu tamu dari aliyah. Usut punya usut, dia alergi debu kapur tulis!
Sebagai salah satu anggota tim PMR, spontanku menolong dengan cara-cara yang sudah kupelajari, dan sesegera mungkin kubawa ke ruang UKS. Alhamdulillah, beberapa teman lain segera datang membantu.
Secepat aku selesai menolong, kumemanggil guru di aula. Begitulah. Aku melupakan apa yang sudah terjadi hingga detik kubaca tulisan panjang di WA. Ternyata dianya...hehehe.
Yang membuatku terkesima adalah dia menulis...
Kakak, sadarlah. Sembuhlah. Andai aku bisa menggantikan rasa sakitmu akan kuminta Allah tuk mengizinkanku membantu menanggungnya. Kakak...bernapaslah, ayo...”
Ya iyalah itu kalimat saktiku tiap menolong siapa pun. Tentu saja aku tlah hapal di luar kepala dengan sedikit mengubah redaksi kalimat tentunya!
Kulihat kakak datang dari kota, inginku juga sekolah di sana, inginku bahkan masuk perguruan tinggi nantinya. Semoga kita bertemu, ya Kak?”
“Aku kehilangan semangat hidup karena penyakitku. Tak ada sesuatu yang bisa membangkitkan motivasi hidupku hingga hari itu. Hingga kalimat-kalimatmu meluncur mengetuk lubuk hati. Kinan. Kinanthi. Nama yang tlah jauh lama kutulis hingga akhirnya jumpa kembali. Subhanallah. Takdir Allah begitu indah, tanpa pernah kusadari bahwa pertemuan sekarang pun tlah diatur oleh-Nya!”
Aduh aduh aduh, bukan baper lagi namanya saat membaca tulisan itu,aku seakan dejavu dengan masa lalu. Sebegitukah artiku baginya?
***
Dan tibalah saatnya.
Ku berdiri di ujung pintu masuk pesawat. Tiket kugenggam erat setelah lolos dari pintu pemeriksaan. Bapak pun sudah kembali ke kampung setelah mengantarkanku ke bandara. Ya, aku naik pikep bapak, biasa, setor pisang ke pasar Bungurasih seminggu sekali.
Tiket kutatap sekali lagi. kulihat posisi duduk di kursi 29B. Nah...
Mataku terbelalak. Di kursi 29A kulihat sepotong wajah yang telah mengharubiruku seminggu ini, mengorupsi hatiku habis-habisan, mengirim senyum seindah pelangi!
Cuthel
Jember, 30 Januari 2018 (14.10 WIB)
Eni Siti Nurhayati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar