Lima Langkah Jitu Sebelum Melangkah
ke Pintu Itu!
Eni Siti Nurhayati
Beneran mo jadi janda? Beneran mo
nggugat cerai? Baca lima langkah berikut ini supaya tindakan yang akan mengubah
garis hidupmu tidak menjadi sesalan di kemudian hari!
Berniat menggugat cerai itu bermakna
besar. Apalagi bagi kaum wanita. Satu hal mendasar yang bisa dijadikan titikan
adalah bahwa si penggugat benarlah dalam posisi teraniaya, tidak terakomodasi
ataupun tercover lagi apa yang dia cari dalam kehidupan rumah tangganya.
Ketika seseorang memutuskan jalan
perceraian sebagai langkah mengakhiri pernikahannya, patutlah untuk dikaji
berulang kali apakah hal tersebut benar-benar jalan terakhir untuk menjaga
kestabilan hati dan kewarasan jiwa. Lewati lima hal berikut sebelum menyetorkan
formulir ke loket pendaftaran, ya?
1. Pokok nek
ijik arep barang neng cepitan, jok ngasah-asahi megat bojo. Njilingi tenan
mengkone!
Kalimat
dalam bahasa Jawa itu sangat mengena sejak dulu hingga sekarang ku-getoktular-kan
ke Anda sekalian. Arti simpelnya gini, pokoknya...kalo masih mau atau suka
barang di antara dua paha (maaf), jangan berani-beraninya untuk berpisah atawa
bercerai dari suami. Bisa jadi kerepotan nantinya!
Ya. ibarat ayam betina yang sudah lama tinggal bersama ayam
jago, ketika suatu saat dibirat/disapih pastilah ada konsekuensi yang
mengiringinya. Ingat, ada hal-hal yang tidak bisa dilakukan lagi saat status
janda sudah di tangan. Apa aja itu? Tau sendirilah, hehehe.
Makna lebih luasnya adalah, alasan kita untuk menggugat cerai
itu masih level di bawah cinta kita kepadanya. Jadi, abaikan dululah. Nikmati
hidup dululah. Sulit juga lho untuk mencari pegangan hidup di kala sudah
sorangan. Hayoooo?
2. Hanya
ketidakpercayaan yang bisa memutus mata rantai cinta di antara suami dan istri!
Banyak hal yang bisa membuka jalan tuk perceraian. Apa
susahnya mencari alasan? Wong alasan tanpa dicari kadang nongol sendiri? Hiks.
Tapi, welinge simbok, Kalo bercerai hanya sekadar masalah ekonomi, duh
jangan dulu deh. Emangnya dulu di awal nikah kan sudah tau gimana perform
misua. Masak saat mo nikah nggak tau ntar si dia kerja apa? Trus ngidupin anak
istri pake apa? Kasihan deh sekiranya menceraikannya gegara duit sedikit yang
bisa dia kasihkan! Ayolah, diingat zaman bertemu dan berikrar tuk sehidup
semati. Masak hanya mau enaknya, kekarnya, senangnya doang? Eling kawitane.
Eling mula bukane, yoooo... (ingat awalnya dulu, ya?).
Wanita di manapun paling streng jika kepercayaannya dikhianati.
Nah lho? Berselingkuh. Palagi berselingkuh dengan sengaja. Wah, nggak bisa
ditoleransi lagi tuh. Itupun juga jangan sakkal-sakkal menggugat jika
dia baru selingkuh sekali. Maafin, dulu aja, ya? diomong baik-baik duduk
masalahnya. Trus muhasabah bersama. Saling koreksi, hingga dicapai kesepakatan
terbaik, ishlah. Deal.
Hidup bersama
terkadang bukan hanya menampakkan kelebihan masing-masing pasangan, namun
seakan membuka kekurangan masing-masing lebih lebar. Suami istri kan seharusnya
tumbu oleh tutup, saling melengkapi, tapi wong masa berjalan...usia bertambah,
kehidupan yang kian permisif memberi celah pasangan tuk berselingkuh! Beragam
sebab dan alasan.
Maklumlah, ibarat warung, suami terbiasa diladenin sayur
lodeh, dia ngelirik soto atau rawon! Banyak cerita banyak versi. Tinggal
bagaimana sebagai istri dalam menyikapi!
3. Datangi orang
ketiga untuk meminta advisnya.
Yups.
Saat ada konflik yang tak lagi bisa diselesaikan dengan sistem empat mata,
nggak bisa dilupa meski sudah nggelar tikar tidur bersama, maka pihak penengah
harus dimunculkan. Bisa orang tua, saudara, atau kalau perlu pergi ke KUA. Di
sana ada petugas yang kan mendengarkan segala permasalahan kita dan dengan
tulus ikhlas mau membagi saran-saran terbaiknya. Percaya, deh! Hal-hal berkait
masalah dalam rumah tangga kan termasuk aib apabila dibyawarakna.
Disebarluaskan. Suami istri itu ibarat satu tubuh. Nah tubuh kan aurat kita.
Ada bagian yang terbuka lebar, adapula yang harus ditutup rapat-rapat. Termasuk
hal-hal pemicu keretakan dalam rumah tangga itulah yang harus ditutup rapat
dari pihak ketiga yang belum bisa dijamin validitasnya dalam menanggapi
permasalahan yang ada.
Pesan
siaga satu, jangan curhat ke medsos! Duuh, ibarat mbikin api, sekali kita
curhat di sana, bisa dipastikan malah dikipasin dari sana-sini. Maklum medsos
kan wahana umum. Jangan salahin jika nasihat yang muncul malah nggak madangin,
metengin sing iya! Api kecil ditiup, kebakaran jadinya.
Trus lagi,...catet ini, dari sekian pasangan yang menetapkan
diri tuk bercerai, ada dan banyak yang nggak jadi alias wurung. Nah,
ketika kobaran api itu sudah tersebar ke mana-mana, trus kitanya tampil samawa
lagi di depan publik, duuuh...gimana rasanya, ya?
4. Pergilah untuk
memisahkan diri sementara waktu.
Jeda waktu tuk tak bersua acapkali penyembuh luka akibat
deraan masalah yang ada. Pamitlah baik-baik bahwa ada saat di mana kita butuh
hijrah ke tempat lain. Bisa jadi, saat berjauhan, bisa jadi kita secara tulus
melihat ke rangkaian peristiwa sebelumnya. Tentulah ada masa di mana kita
saling mencintai, pun juga momen-momen indah pengikat hati.
Yakin deh, saat kekesalan menghilang, kesalahan bisa
dimaafkan, ketika perjumpaan lagi tak terelakkan, hanya cinta yang membayang.
Kenangan indah menghapus segala kesah, lelah, dan salah. Aseeekkk!
5. Anak. Anak.
Anak!
Ketika
perkawinan sudah di ujung tanduk, semua kesalahan suami sudah masuk ke deretan terdepan
tuk menjadi gugatan, tengoklah buah cinta pernikahan. Anak. Mereka adalah
korban pertama setelah keputusan cerai diambil. Anak. Bukan kita! Kalo kita mah
emang sudah siap tuk ngelakuin dengan konsekuensi apa pun. Tapi anak? Kita tak
pernah tahu seberapa dalam kepedihan akibat perpisahan kedua orang tuanya
menjejak di dasar hatinya. Kita mungkin hanya sibuk merekam palung kesedihan
akibat perbuatan suami yang menjadi dasar kita menggugat cerai. Namun, andai
bening mata anak masihlah mampu membetot rasa kasih kita tuk suami yang
‘pernah’ kita cintai, apa salahnya keputusan tuk bercerai dipertimbangkan lagi?
Sekiranya satu sampai lima advis di
atas sudah tak mempan lagi menahan laju hati dan langkah kaki tuk menuju pintu
“itu”, abaikan semua tulisan ini. Yakinlah bahwa penulisnya memang bukanlah
dokter cinta ataupun psikolog kawakan masalah perceraian! Satu kalimat yang
bisa saya ucapkan...”Selamat bergabung di PJI...Persatuan Janda Indonesia!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar