Halaman

Translate

Rabu, 14 November 2018


Lima Langkah Jitu Sebelum Melangkah ke Pintu Itu!
Eni Siti Nurhayati
Beneran mo jadi janda? Beneran mo nggugat cerai? Baca lima langkah berikut ini supaya tindakan yang akan mengubah garis hidupmu tidak menjadi sesalan di kemudian hari!
Berniat menggugat cerai itu bermakna besar. Apalagi bagi kaum wanita. Satu hal mendasar yang bisa dijadikan titikan adalah bahwa si penggugat benarlah dalam posisi teraniaya, tidak terakomodasi ataupun tercover lagi apa yang dia cari dalam kehidupan rumah tangganya.
Ketika seseorang memutuskan jalan perceraian sebagai langkah mengakhiri pernikahannya, patutlah untuk dikaji berulang kali apakah hal tersebut benar-benar jalan terakhir untuk menjaga kestabilan hati dan kewarasan jiwa. Lewati lima hal berikut sebelum menyetorkan formulir ke loket pendaftaran, ya?
1.      Pokok nek ijik arep barang neng cepitan, jok ngasah-asahi megat bojo. Njilingi tenan mengkone!
Kalimat dalam bahasa Jawa itu sangat mengena sejak dulu hingga sekarang ku-getoktular-kan ke Anda sekalian. Arti simpelnya gini, pokoknya...kalo masih mau atau suka barang di antara dua paha (maaf), jangan berani-beraninya untuk berpisah atawa bercerai dari suami. Bisa jadi kerepotan nantinya!
Ya. ibarat ayam betina yang sudah lama tinggal bersama ayam jago, ketika suatu saat dibirat/disapih pastilah ada konsekuensi yang mengiringinya. Ingat, ada hal-hal yang tidak bisa dilakukan lagi saat status janda sudah di tangan. Apa aja itu? Tau sendirilah, hehehe.
Makna lebih luasnya adalah, alasan kita untuk menggugat cerai itu masih level di bawah cinta kita kepadanya. Jadi, abaikan dululah. Nikmati hidup dululah. Sulit juga lho untuk mencari pegangan hidup di kala sudah sorangan. Hayoooo?
2.      Hanya ketidakpercayaan yang bisa memutus mata rantai cinta di antara suami dan istri!
Banyak hal yang bisa membuka jalan tuk perceraian. Apa susahnya mencari alasan? Wong alasan tanpa dicari kadang nongol sendiri? Hiks. Tapi, welinge simbok, Kalo bercerai hanya sekadar masalah ekonomi, duh jangan dulu deh. Emangnya dulu di awal nikah kan sudah tau gimana perform misua. Masak saat mo nikah nggak tau ntar si dia kerja apa? Trus ngidupin anak istri pake apa? Kasihan deh sekiranya menceraikannya gegara duit sedikit yang bisa dia kasihkan! Ayolah, diingat zaman bertemu dan berikrar tuk sehidup semati. Masak hanya mau enaknya, kekarnya, senangnya doang? Eling kawitane. Eling mula bukane, yoooo... (ingat awalnya dulu, ya?).
Wanita di manapun paling streng jika kepercayaannya dikhianati. Nah lho? Berselingkuh. Palagi berselingkuh dengan sengaja. Wah, nggak bisa ditoleransi lagi tuh. Itupun juga jangan sakkal-sakkal menggugat jika dia baru selingkuh sekali. Maafin, dulu aja, ya? diomong baik-baik duduk masalahnya. Trus muhasabah bersama. Saling koreksi, hingga dicapai kesepakatan terbaik, ishlah. Deal.
 Hidup bersama terkadang bukan hanya menampakkan kelebihan masing-masing pasangan, namun seakan membuka kekurangan masing-masing lebih lebar. Suami istri kan seharusnya tumbu oleh tutup, saling melengkapi, tapi wong masa berjalan...usia bertambah, kehidupan yang kian permisif memberi celah pasangan tuk berselingkuh! Beragam sebab dan alasan.
Maklumlah, ibarat warung, suami terbiasa diladenin sayur lodeh, dia ngelirik soto atau rawon! Banyak cerita banyak versi. Tinggal bagaimana sebagai istri dalam menyikapi!
3.      Datangi orang ketiga untuk meminta advisnya.
Yups. Saat ada konflik yang tak lagi bisa diselesaikan dengan sistem empat mata, nggak bisa dilupa meski sudah nggelar tikar tidur bersama, maka pihak penengah harus dimunculkan. Bisa orang tua, saudara, atau kalau perlu pergi ke KUA. Di sana ada petugas yang kan mendengarkan segala permasalahan kita dan dengan tulus ikhlas mau membagi saran-saran terbaiknya. Percaya, deh! Hal-hal berkait masalah dalam rumah tangga kan termasuk aib apabila dibyawarakna. Disebarluaskan. Suami istri itu ibarat satu tubuh. Nah tubuh kan aurat kita. Ada bagian yang terbuka lebar, adapula yang harus ditutup rapat-rapat. Termasuk hal-hal pemicu keretakan dalam rumah tangga itulah yang harus ditutup rapat dari pihak ketiga yang belum bisa dijamin validitasnya dalam menanggapi permasalahan yang ada.
Pesan siaga satu, jangan curhat ke medsos! Duuh, ibarat mbikin api, sekali kita curhat di sana, bisa dipastikan malah dikipasin dari sana-sini. Maklum medsos kan wahana umum. Jangan salahin jika nasihat yang muncul malah nggak madangin, metengin sing iya! Api kecil ditiup, kebakaran jadinya.
Trus lagi,...catet ini, dari sekian pasangan yang menetapkan diri tuk bercerai, ada dan banyak yang nggak jadi alias wurung. Nah, ketika kobaran api itu sudah tersebar ke mana-mana, trus kitanya tampil samawa lagi di depan publik, duuuh...gimana rasanya, ya?
4.      Pergilah untuk memisahkan diri sementara waktu.
Jeda waktu tuk tak bersua acapkali penyembuh luka akibat deraan masalah yang ada. Pamitlah baik-baik bahwa ada saat di mana kita butuh hijrah ke tempat lain. Bisa jadi, saat berjauhan, bisa jadi kita secara tulus melihat ke rangkaian peristiwa sebelumnya. Tentulah ada masa di mana kita saling mencintai, pun juga momen-momen indah pengikat hati.
Yakin deh, saat kekesalan menghilang, kesalahan bisa dimaafkan, ketika perjumpaan lagi tak terelakkan, hanya cinta yang membayang. Kenangan indah menghapus segala kesah, lelah, dan salah. Aseeekkk!
5.      Anak. Anak. Anak!
Ketika perkawinan sudah di ujung tanduk, semua kesalahan suami sudah masuk ke deretan terdepan tuk menjadi gugatan, tengoklah buah cinta pernikahan. Anak. Mereka adalah korban pertama setelah keputusan cerai diambil. Anak. Bukan kita! Kalo kita mah emang sudah siap tuk ngelakuin dengan konsekuensi apa pun. Tapi anak? Kita tak pernah tahu seberapa dalam kepedihan akibat perpisahan kedua orang tuanya menjejak di dasar hatinya. Kita mungkin hanya sibuk merekam palung kesedihan akibat perbuatan suami yang menjadi dasar kita menggugat cerai. Namun, andai bening mata anak masihlah mampu membetot rasa kasih kita tuk suami yang ‘pernah’ kita cintai, apa salahnya keputusan tuk bercerai dipertimbangkan lagi?
Sekiranya satu sampai lima advis di atas sudah tak mempan lagi menahan laju hati dan langkah kaki tuk menuju pintu “itu”, abaikan semua tulisan ini. Yakinlah bahwa penulisnya memang bukanlah dokter cinta ataupun psikolog kawakan masalah perceraian! Satu kalimat yang bisa saya ucapkan...”Selamat bergabung di PJI...Persatuan Janda Indonesia!”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar