Halaman

Translate

Senin, 31 Agustus 2020

Gugon Tuhon, Masihkah Bisa Dipercaya?

 

Gugon Tuhon, Masihkah Bisa Dipercaya?

Eni Siti Nurhayati

Pulang ke desa, kembali ke tanah kelahiran saat masa pandemi tiba, bisa kumaknai dengan kembali kepada kebiasaan lama. Tata cara kehidupan lama. Selain menjumpai beragam adat istiadat yang bersifat tradisi lokal, seperti bersih desa, ruwatan, selamatan orang meninggal yang urut dan runtut mulai tiga harinya, tujuh harinya, empat puluh harinya, seratus harinya, hingga pendhak satu, pendhak dua, dan seribu harinya.

Apalagi jika selamatan itu berkait dengan orang hamil. Wah, budaya desaku sungguh lengkap. Orang hamil itu ditandai mulai dari masa kehamilan tiga bulan, neloni. Lanjut tujuh bulanan, ningkepi. Hingga bayi lahir yang diselamati mulai sepasar, selapan, bayi telu, bayi pitu, hingga diulangtahuni. Bisa kupastikan nasi brekatan tak pernah ada putusnya. Di balik itu stok gula, beras, dan minyak pun juga harus selalu tersedia. Buat apa? Hla ya buat buwuh alias datang ke rumah orang yang sedang punya hajatan itu!

Bahkan, jangan ramai-ramai yaa, menurut pandangan dan pendengaranku, di desaku pun masih lestari adanya gugon tuhon. Apa sih gugon tuhon itu? Secara ilmiah keilmuan gugon tuhon itu dimaknai kepercayaan atau keyakinan pada sesuatu hal atau perkara yang seringkali tidak bisa diterima akal sehat. Tidak bisa diprediksi secara matematis!

***

“Wah, amati saja. Ada anak gadis hamil ini!” kata bapak keras-keras ketika mendengar ayam jago di kandang mengeluarkan suara khasnya. Kluruk, istilah jawanya.

Aku dan ibu yang sedang menemani beliau di meja tamu seketika terdiam. Obrolan kami terhenti. Memang benar ada suara ayam jago sekeras-kerasnya dari arah kandang di belakang rumah. Setelah bersuara nyaring tiga kali klurukan itu terhenti!

“Bapak ini mbok ya jangan percaya tahayul. Gugon tuhon itu! masak zaman sudah secanggih ini masih percaya hal begituan,” sahutku cepat. Heran juga dengan adat bapakku ini. Gawainya saja sudah Ram delapan. Piawai berselancar di dunia maya, eh ... masih juga...

            “Ayam kita lho ada di dalam kurungan, Pak. Mungkin disenggol sesuatu terus kaget. Terus ...,” lanjut ucapku.

            “Tidak percaya ya sudah. Amati saja!” jawab bapak sengol sambil beranjak dari kursinya. Saat kecil dulu sih aku percaya saja dengan semua ucapan bapak. Tapi sekarang? O-em-ji!

“Atau kamu sendiri yang hamil?” ucap bapak sebelum melanjutkan langkahnya.

“Bapakkkkk....” seruku sambil mengejar bapak lalu memukuli punggungnya. Amit amit, Pak!

“Jangan membantah bapak. Kamu masih anak kemarin sore. Pengalaman hidup mengajarkan bahwa banyak kejadian yang tidak bisa diterima akal sehat, namun kok ya beneran terjadi!” Ibu menengahi sambil menepuk-nepuk punggungku. Hahaha...suasana rumah yang sepi ramai jadinya!

“Dah, belajar sana. Katanya ada kuliah daring! Jangan ganggu kakakmu!” kata ibu mengusirku setelah bapak dan ibu memilih menuju ke kamarnya. Peganganku ke bapak kulepaskan akhirnya.

Aku mengangguk. Namun, kakiku kulangkahkan ke kandang ayam. Ayam jago bapak yang dikurung di luar kandang, kurungannya kudorong dengan kakiku. Pelaaaannn saja. Apa yang terjadi? Dia pun kluruk sekeras-kerasnya!

            “Nurani!” seru bapak dan ibu bersamaan dari kamar.  Secepat kilat aku berlari ke kamar. Hahaha,... benar kan dugaanku? Ayam jago itu bereaksi ketika aku beraksi?

Seminggu setelahnya, ketika aku baru pulang dari belanja, kulihat ada nasi kenduri, brekat, terbungkus rapi di atas meja. Suasana rumah begitu sepi. Alah, wong di rumah ini anaknya tinggal aku saja, brekatan itu kulahap habis. Maklum kelaparan!    

 “Enak brekat-nya?” sapa bapak yang tetiba sudah muncul di belakangku. Anggukan mantapku mengiyakan tanya beliau.

Brekat dari mana, Pak? Siang-siang kok sudah ada kiriman nasi kenduri?”

“Oh, itu. bapak dapat dari undangan ijabannya si Santi. Anak Pak Wandi RT.”

Nasi yang akan kumasukkan mulut kutarik lagi. Yang ada di mulut pun kutelan paksa.

“Hlo, Santi kan masih sekolah, Pak. Kelas dua tingkat atas sepertinya!”

“Bagaimana lagi, wong dia sudah punya tabungan. Hamil tiga bulan!” jawab bapak singkat sambil berlalu seolah tidak terjadi apa-apa.

Aku merasa kehausan seketika!

***

“Enak, brekat-nya?” tanya ibu sambil menyirami bunga. Aku mengangguk sambil mengangkat sapu siap membantu. Ah, menghabiskan sore bersama ibu di tengah kebun bunga sungguh menenteramkan jiwa. Idih, aku kok jadi sok puitis gini ya?

Ibu tertawa lirih. Aku tahu maksudnya. Gerakan sapuku kuhentikan.

“Ibu nyindir aku ya?” ujarku galak.

“Enggaklah. Alhamdulillah jika sudah dihabiskan. Tiap ada anak nikahan, ibu pasti teringat kejadian saat kakakmu minta dinikahkan dengan pujaan hatinya,” jawab ibu sendu.

Setelahnya kulihat tatapan ibu menuju ke punggung awan di langit. Ah, ibu. Kok masih juga mengingat kejadian pahit yang menimpa kakakku!

***

“Pokoknya Kinan tidak boleh menikah dengan Guntur. Semua sudah kuhitung. Hari lahir mereka tidak cocok. Arah rumah tidak sejalur. Apalagi Guntur anak pertama, Kinan juga. Pasti nantinya kalah salah satu. Aku tidak setuju!”

Belum pernah aku melihat bapak semarah itu. apalagi marah di depan para tamu!pikirku sih, andai pernikahan itu seperti permainan kalah menang, toh belum bisa diketahui siapa yang kalah dan siapa yang menang? Wkwkwk...

Saat itu aku baru lulus SMP. Aku hanya diam mematung di antara ibu dan kakak. Ibu menangis. kak Kinan menangis setengah histeris. Mas Guntur, pacar kakak, terdiam di kursi panjang bersama keluarganya.

“Dari kemarin sudah kubilang, meski Guntur datang ke sini dengan semua keluarganya, keputusanku tidak bisa diganggu gugat. Tidak aku setujui bahkan hingga aku mati. Titik!”

Kelanjutannya apakah seperti dalam sinetron? Tidak, ibuku, sang dewi kebijaksanaan di rumah, turun tangan. Setelah berkonsultasi dengan banyak orang pintar di desa, ditemukan titik tengah atas beragam ketidaksamaan antara kakak dan calon suaminya. Hingga Kak Kinan tetap menikah dengan Mas Guntur jtiga bulan setelahnya. Senyum bapak pun juga merekah saat berfoto di pelaminan kakak. Mereka damai-damai saja hingga aku masuk perguruan tinggi.

Satu hari yang takkulupa. Empat tahun lalu di bulan September, Malam Jumat legi waktu itu.

Kak Kinan datang ke rumah sambil membopong Siwi, keponakanku. Kakak datang dengan satu mobil penuh barang. Kakak pindahan ternyata. Mana Mas Guntur?

“Sstt, masmu diminta orang. Dia menikah lagi, kakakmu tidak mau dimadu. Ya, akhirnya begini!”

Wadduuh, ternyata kakakku yang kalah!

***

“Kinan di mana, Bu?” seru bapak dari teras.

Pikiranku yang melayang seketika kukembalikan ke alam nyata.

“Kinan tadi pamit ke rumah eyang. Siwi diajak ke sana kan oleh Buyut Mardi,” jawab ibu sambil mematikan keran.

“Itu lho bunyi prenjak di dahan mangga utara rumah kok nyaring sekali. Akan ada tamu.” Bapak bersuara lagi. “kalau melihat arahnya ada tamu mau pinjam uang. Jangan diperbolehkan, ya, Bu. Hari ini malam Selasa. Hari goroh, bohong! Kinan itu mudah dibohongi!”

Aku dan ibu hanya berpandangan. Jadi, bapak mencari Kak Kinan karena khawatir ada tamu datang dan meminjam uang kepadanya. Memang tak bisa kupungkiri bahwa setelah diangkat menjadi ASN di kantor kecamatan, rumah kami ramai didatangi teman dan kenalannya. Selain silaturahmi ada pula yang berniat untuk meminjam uang!

“Kalau minjemnya ke bapak atau ibu, nggak pa pa?” tanyaku iseng.

“Bapak dan ibu sudah pasti tidak akan meminjami kalau seperti ini. Sudah jelas tanda-tandanya!” jawab bapak seketika. Pandang mata bapak tajam ke arahku setelahnya.

Hampir Magrib, Mbak Kinan datang membawa Siwi. Siwi yang setengah tertidur dibangunkan dengan cepat oleh ibu yang menyambut di ters samping.

“jangan sampai ada anak tidur saat magrib tiba. Bisa-bisa tidurnya ditemani makhluk halus!”

Mboten ibu. Ini Siwi sudah bangun, kok!” jawab Mbak Kinan ringan.

Tepat habis salat Magrib, bel rumah berbunyi. Ada tamu!

...

“Itu masih saudara jauh Mas Guntur. Dia cerita kalau keadaan Ayah Siwi tidak karu-karuan. Pekerjaannya sebagai kontraktor mengalami kebangkrutan. Nah, ....” cerita Mbak Kinan setelah tamunya berpamitan.

Sepertinya, melalui saudaranya itu Mas Guntur berniat meminjam uang tabungan Siwi. Uang tabungan yang ditabung mereka berdua dan dikhususkan untuk biaya pendidikan Siwi nantinya.

“Aku tidak bisa menajwab secara pasti, Pak, Bu. Kujawab saja kalau uang tabungan Siwi sudah kudepositokan jangka panjang.”

“Pinter, itu baru anak bapak!” Senyum bapak merekah setelah Mbak Kinan mengakhiri ceritanya.

Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Nyanyian prenjak berdampak sejauh itu ya?

***

“Nan, hati-hati dalam bergaul. Jadi janda itu berat. Bersikap baik saja masih digosip orang. Apalagi jika ada tindakmu yang melenceng dari jalur kebenaran.” Bapak berulang kali mengucap kalimat itu tiap kali Mbak Kinan akan berangkat kerja.

Inggih, Pak.” Hanya itu jawab Mbak Kinan. Tak pernah kulihat lagi api amarah seperti saat kakak minta dinikahkan dengan Mas Guntur dulu. Kakakku menjadi lembah manah, rendah hati dan baik budinya. Apalagi denganku adik satu-satunya, hehehe...

“Pegawai itu panutan masyarakat. Salah tindak salah langkah akan tercoreng namamu selamanya.”

Inggih, Bapak.” Ganti aku yang menjawab sambil berancang-ancang lari menjauh sambil menggendong Siwi yang bersiap menangis tiap ibunya berangkat kerja. Siapa tahu tangan bapak memanjang dan telingaku menjadi sasaran?

Tapi kali ini tidak. Bapak malah membisikkan sesuatu ke telinga kakak. Apakah itu?

Saat sarapan bapak mengeluarkan argumen lagi. Begini ...

“Heran aku, jago kita sekarang suka kluruk setelah azan Isya. Bahaya, bahaya!”

“Sudah, jangan dipikirkan. Gendhuk Kinan juga sudah kutanya dan kuberitahu. Dia menjawab tidak dengan tegas!” jawab ibu.

“Nurani, jangan suka nguping. Nanti telingamu memanjang lho!” teriak bapak ketika kain pemisah pintu tengah dan dapur kusibak sedikit. Nguping, mencuri dengar!”

“Memang apa hubungannya denga Mbak Kinan?” batinku penasaran.

Paginya hal itu terjawab ketika ibu selesai berbelanja ke wlija, bakul sayur keliling, perumahan kami, bercerita kepada bapak.

“Bapak, tahu tidak? Murni, janda timur rumah kita ternyata hamil. Katanya sih sudah ijaban siri dengan siapa gitu. Tapi ya nggak tahu lagi, ....” Ibu bercerita dengan sangat lega. Kok?

“Oh, makanya jago kita kluruk terus malam hari. Aku sudah mikir yang enggak-enggak. Masak teman-teman ronda semalam membicarakan tentang kluruk jago juga dan menghitung siapa saja janda yang dimungkinkan hamil tanpa suami!”

Selesai

Eni Siti Nurhayati

Penulis sudah membukukan tujuh buku kumpulan cerpen dan satu novel dalam rentang waktu 2013-2019. Guru Bahasa Indonesia di MTs Negeri 9 Jember ini mengakui bahwa kemampuan menulis cerita berbahasa Indonesia jauh dari sempurna. Dengan lapang dada penulis kumcer Zonasi Tresna ini membuka diri untuk semua kritik membangun demi perbaikan karyanya di masa mendatang.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar