Gugon Tuhon,
Masihkah Bisa Dipercaya?
Eni Siti Nurhayati
Pulang ke desa, kembali ke tanah kelahiran saat masa pandemi tiba, bisa
kumaknai dengan kembali kepada kebiasaan lama. Tata cara kehidupan lama. Selain
menjumpai beragam adat istiadat yang bersifat tradisi lokal, seperti bersih
desa, ruwatan, selamatan orang meninggal yang urut dan runtut mulai tiga
harinya, tujuh harinya, empat puluh harinya, seratus harinya, hingga pendhak
satu, pendhak dua, dan seribu harinya.
Apalagi jika selamatan itu berkait dengan orang hamil. Wah, budaya
desaku sungguh lengkap. Orang hamil itu ditandai mulai dari masa kehamilan tiga
bulan, neloni. Lanjut tujuh bulanan, ningkepi. Hingga bayi lahir yang
diselamati mulai sepasar, selapan, bayi telu, bayi pitu, hingga diulangtahuni.
Bisa kupastikan nasi brekatan tak pernah ada putusnya. Di balik itu stok gula,
beras, dan minyak pun juga harus selalu tersedia. Buat apa? Hla ya buat buwuh
alias datang ke rumah orang yang sedang punya hajatan itu!
Bahkan, jangan ramai-ramai yaa, menurut pandangan dan
pendengaranku, di desaku pun masih lestari adanya gugon tuhon. Apa sih gugon
tuhon itu? Secara ilmiah keilmuan gugon tuhon itu dimaknai kepercayaan atau
keyakinan pada sesuatu hal atau perkara yang seringkali tidak bisa diterima
akal sehat. Tidak bisa diprediksi secara matematis!
***
“Wah, amati saja. Ada anak gadis hamil ini!” kata bapak keras-keras
ketika mendengar ayam jago di kandang mengeluarkan suara khasnya. Kluruk,
istilah jawanya.
Aku dan ibu yang sedang menemani beliau di meja tamu seketika
terdiam. Obrolan kami terhenti. Memang benar ada suara ayam jago
sekeras-kerasnya dari arah kandang di belakang rumah. Setelah bersuara nyaring
tiga kali klurukan itu terhenti!
“Bapak ini mbok ya jangan percaya tahayul. Gugon tuhon itu! masak
zaman sudah secanggih ini masih percaya hal begituan,” sahutku cepat. Heran
juga dengan adat bapakku ini. Gawainya saja sudah Ram delapan. Piawai
berselancar di dunia maya, eh ... masih juga...
“Ayam kita lho ada di dalam
kurungan, Pak. Mungkin disenggol sesuatu terus kaget. Terus ...,” lanjut
ucapku.
“Tidak percaya ya sudah. Amati
saja!” jawab bapak sengol sambil beranjak dari kursinya. Saat kecil dulu sih
aku percaya saja dengan semua ucapan bapak. Tapi sekarang? O-em-ji!
“Atau kamu sendiri yang hamil?” ucap bapak sebelum melanjutkan
langkahnya.
“Bapakkkkk....” seruku sambil mengejar bapak lalu memukuli
punggungnya. Amit amit, Pak!
“Jangan membantah bapak. Kamu masih anak kemarin sore. Pengalaman
hidup mengajarkan bahwa banyak kejadian yang tidak bisa diterima akal sehat,
namun kok ya beneran terjadi!” Ibu menengahi sambil menepuk-nepuk punggungku.
Hahaha...suasana rumah yang sepi ramai jadinya!
“Dah, belajar sana. Katanya ada kuliah daring! Jangan ganggu
kakakmu!” kata ibu mengusirku setelah bapak dan ibu memilih menuju ke kamarnya.
Peganganku ke bapak kulepaskan akhirnya.
Aku mengangguk. Namun, kakiku kulangkahkan ke kandang ayam. Ayam
jago bapak yang dikurung di luar kandang, kurungannya kudorong dengan kakiku.
Pelaaaannn saja. Apa yang terjadi? Dia pun kluruk sekeras-kerasnya!
“Nurani!” seru bapak dan ibu
bersamaan dari kamar. Secepat kilat aku
berlari ke kamar. Hahaha,... benar kan dugaanku? Ayam jago itu bereaksi ketika
aku beraksi?
Seminggu setelahnya, ketika aku baru pulang dari belanja, kulihat
ada nasi kenduri, brekat, terbungkus rapi di atas meja. Suasana rumah
begitu sepi. Alah, wong di rumah ini anaknya tinggal aku saja, brekatan
itu kulahap habis. Maklum kelaparan!
“Enak brekat-nya?”
sapa bapak yang tetiba sudah muncul di belakangku. Anggukan mantapku mengiyakan
tanya beliau.
“Brekat dari mana, Pak? Siang-siang kok sudah ada kiriman
nasi kenduri?”
“Oh, itu. bapak dapat dari undangan ijabannya si Santi. Anak Pak
Wandi RT.”
Nasi yang akan kumasukkan mulut kutarik lagi. Yang ada di mulut pun
kutelan paksa.
“Hlo, Santi kan masih sekolah, Pak. Kelas dua tingkat atas
sepertinya!”
“Bagaimana lagi, wong dia sudah punya tabungan. Hamil tiga
bulan!” jawab bapak singkat sambil berlalu seolah tidak terjadi apa-apa.
Aku merasa kehausan seketika!
***
“Enak, brekat-nya?” tanya ibu sambil menyirami bunga. Aku
mengangguk sambil mengangkat sapu siap membantu. Ah, menghabiskan sore bersama
ibu di tengah kebun bunga sungguh menenteramkan jiwa. Idih, aku kok jadi sok
puitis gini ya?
Ibu tertawa lirih. Aku tahu maksudnya. Gerakan sapuku kuhentikan.
“Ibu nyindir aku ya?” ujarku galak.
“Enggaklah. Alhamdulillah jika sudah dihabiskan. Tiap ada anak
nikahan, ibu pasti teringat kejadian saat kakakmu minta dinikahkan dengan
pujaan hatinya,” jawab ibu sendu.
Setelahnya kulihat tatapan ibu menuju ke punggung awan di langit.
Ah, ibu. Kok masih juga mengingat kejadian pahit yang menimpa kakakku!
***
“Pokoknya Kinan tidak boleh menikah dengan Guntur. Semua sudah
kuhitung. Hari lahir mereka tidak cocok. Arah rumah tidak sejalur. Apalagi
Guntur anak pertama, Kinan juga. Pasti nantinya kalah salah satu. Aku tidak
setuju!”
Belum pernah aku melihat bapak semarah itu. apalagi marah di depan
para tamu!pikirku sih, andai pernikahan itu seperti permainan kalah menang, toh
belum bisa diketahui siapa yang kalah dan siapa yang menang? Wkwkwk...
Saat itu aku baru lulus SMP. Aku hanya diam mematung di antara ibu dan
kakak. Ibu menangis. kak Kinan menangis setengah histeris. Mas Guntur, pacar
kakak, terdiam di kursi panjang bersama keluarganya.
“Dari kemarin sudah kubilang, meski Guntur datang ke sini dengan
semua keluarganya, keputusanku tidak bisa diganggu gugat. Tidak aku setujui
bahkan hingga aku mati. Titik!”
Kelanjutannya apakah seperti dalam sinetron? Tidak, ibuku, sang
dewi kebijaksanaan di rumah, turun tangan. Setelah berkonsultasi dengan banyak
orang pintar di desa, ditemukan titik tengah atas beragam ketidaksamaan antara
kakak dan calon suaminya. Hingga Kak Kinan tetap menikah dengan Mas Guntur
jtiga bulan setelahnya. Senyum bapak pun juga merekah saat berfoto di pelaminan
kakak. Mereka damai-damai saja hingga aku masuk perguruan tinggi.
Satu hari yang takkulupa. Empat tahun lalu di bulan September,
Malam Jumat legi waktu itu.
Kak Kinan datang ke rumah sambil membopong Siwi, keponakanku. Kakak
datang dengan satu mobil penuh barang. Kakak pindahan ternyata. Mana Mas
Guntur?
“Sstt, masmu diminta orang. Dia menikah lagi, kakakmu tidak mau
dimadu. Ya, akhirnya begini!”
Wadduuh, ternyata kakakku yang kalah!
***
“Kinan di mana, Bu?” seru bapak dari teras.
Pikiranku yang melayang seketika kukembalikan ke alam nyata.
“Kinan tadi pamit ke rumah eyang. Siwi diajak ke sana kan oleh
Buyut Mardi,” jawab ibu sambil mematikan keran.
“Itu lho bunyi prenjak di dahan mangga utara rumah kok nyaring
sekali. Akan ada tamu.” Bapak bersuara lagi. “kalau melihat arahnya ada tamu
mau pinjam uang. Jangan diperbolehkan, ya, Bu. Hari ini malam Selasa. Hari goroh,
bohong! Kinan itu mudah dibohongi!”
Aku dan ibu hanya berpandangan. Jadi, bapak mencari Kak Kinan
karena khawatir ada tamu datang dan meminjam uang kepadanya. Memang tak bisa
kupungkiri bahwa setelah diangkat menjadi ASN di kantor kecamatan, rumah kami
ramai didatangi teman dan kenalannya. Selain silaturahmi ada pula yang berniat
untuk meminjam uang!
“Kalau minjemnya ke bapak atau ibu, nggak pa pa?” tanyaku iseng.
“Bapak dan ibu sudah pasti tidak akan meminjami kalau seperti ini.
Sudah jelas tanda-tandanya!” jawab bapak seketika. Pandang mata bapak tajam ke
arahku setelahnya.
Hampir Magrib, Mbak Kinan datang membawa Siwi. Siwi yang setengah
tertidur dibangunkan dengan cepat oleh ibu yang menyambut di ters samping.
“jangan sampai ada anak tidur saat magrib tiba. Bisa-bisa tidurnya
ditemani makhluk halus!”
“Mboten ibu. Ini Siwi sudah bangun, kok!” jawab Mbak Kinan
ringan.
Tepat habis salat Magrib, bel rumah berbunyi. Ada tamu!
...
“Itu masih saudara jauh Mas Guntur. Dia cerita kalau keadaan Ayah
Siwi tidak karu-karuan. Pekerjaannya sebagai kontraktor mengalami kebangkrutan.
Nah, ....” cerita Mbak Kinan setelah tamunya berpamitan.
Sepertinya, melalui saudaranya itu Mas Guntur berniat meminjam uang
tabungan Siwi. Uang tabungan yang ditabung mereka berdua dan dikhususkan untuk
biaya pendidikan Siwi nantinya.
“Aku tidak bisa menajwab secara pasti, Pak, Bu. Kujawab saja kalau
uang tabungan Siwi sudah kudepositokan jangka panjang.”
“Pinter, itu baru anak bapak!” Senyum bapak merekah setelah Mbak
Kinan mengakhiri ceritanya.
Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Nyanyian prenjak
berdampak sejauh itu ya?
***
“Nan, hati-hati dalam bergaul. Jadi janda itu berat. Bersikap baik
saja masih digosip orang. Apalagi jika ada tindakmu yang melenceng dari jalur
kebenaran.” Bapak berulang kali mengucap kalimat itu tiap kali Mbak Kinan akan
berangkat kerja.
“Inggih, Pak.” Hanya itu jawab Mbak Kinan. Tak pernah
kulihat lagi api amarah seperti saat kakak minta dinikahkan dengan Mas Guntur
dulu. Kakakku menjadi lembah manah, rendah hati dan baik budinya.
Apalagi denganku adik satu-satunya, hehehe...
“Pegawai itu panutan masyarakat. Salah tindak salah langkah akan
tercoreng namamu selamanya.”
“Inggih, Bapak.” Ganti aku yang menjawab sambil
berancang-ancang lari menjauh sambil menggendong Siwi yang bersiap menangis
tiap ibunya berangkat kerja. Siapa tahu tangan bapak memanjang dan telingaku
menjadi sasaran?
Tapi kali ini tidak. Bapak malah membisikkan sesuatu ke telinga
kakak. Apakah itu?
Saat sarapan bapak mengeluarkan argumen lagi. Begini ...
“Heran aku, jago kita sekarang suka kluruk setelah azan Isya.
Bahaya, bahaya!”
“Sudah, jangan dipikirkan. Gendhuk Kinan juga sudah kutanya dan
kuberitahu. Dia menjawab tidak dengan tegas!” jawab ibu.
“Nurani, jangan suka nguping. Nanti telingamu memanjang
lho!” teriak bapak ketika kain pemisah pintu tengah dan dapur kusibak sedikit. Nguping,
mencuri dengar!”
“Memang apa hubungannya denga Mbak Kinan?” batinku penasaran.
Paginya hal itu terjawab ketika ibu selesai berbelanja ke wlija,
bakul sayur keliling, perumahan kami, bercerita kepada bapak.
“Bapak, tahu tidak? Murni, janda timur rumah kita ternyata hamil.
Katanya sih sudah ijaban siri dengan siapa gitu. Tapi ya nggak tahu lagi, ....”
Ibu bercerita dengan sangat lega. Kok?
“Oh, makanya jago kita kluruk terus malam hari. Aku sudah mikir
yang enggak-enggak. Masak teman-teman ronda semalam membicarakan tentang
kluruk jago juga dan menghitung siapa saja janda yang dimungkinkan hamil tanpa
suami!”
Selesai
Eni
Siti Nurhayati
Penulis sudah membukukan tujuh buku kumpulan cerpen dan satu novel
dalam rentang waktu 2013-2019. Guru Bahasa Indonesia di MTs Negeri 9 Jember ini
mengakui bahwa kemampuan menulis cerita berbahasa Indonesia jauh dari sempurna.
Dengan lapang dada penulis kumcer Zonasi Tresna ini membuka diri untuk
semua kritik membangun demi perbaikan karyanya di masa mendatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar