Peterongan,
18 Maret 2014
Ketika Golput Menjadi Pilihan
Aku tidak mau membohongi diri
sendiri, bahkan ketika kutulis ini aku mengakui dengan sejujurnya bahwa pemilu
lalu aku golput saat pencoblosan caleg. Kuniati memang. Aku memilih pulang
kampung saat hari coblosan. Kupikir milih gak milih juga nggak ada efek apa-apa
bagiku. Jakarta terlalu jauh, pikirku saat itu. Nggak bakal konangan.
Masih kuingat aku ikut pemilihan
pertama saat duduk di bangku kelas dua aliyah. Saat itu aku mbangun turut manut
Bapak untuk nyoblos Golkar. Masih kuingat ketika Bapak berkata, “Pokoke
sakdurunge nyambut gawe, durung iso golek mangan dhewe, mangan jik melok wong
tuwek, kowe miliha Golkar, merga Bapak kerjane yo sing mbayari pemerintah, hla
pemerintahe iku dipimpin Golkar”. Hahaha…tertawa aku apabila mengenang itu.
Saat kampanye pun aku dipakaikan kaos
kuning, untuk ndelok jurkam berorasi menggantikan ibu, apabila ibu sedang
‘izin’ nggak bisa hadir di kampanye. Seneng saja, itu yang kurasakan saat itu.
Tahun-tahun berlalu, ketika aku sudah
mandiri ,lepas dari orang tua, partai makin banyak, makin banyak pilihan, saat
ngobrol dengan Bapak juga, beliau wanti-wanti, “Nek nyoblos telu, masiyo partai
sing mbok pilih beda, tapi ojok lali salah sijine miliho Golkar. Elingo,
cilikanmu sing nggedhekna yo…Golkar”. Aku hanya tersenyum, kudengar saja apa
ngendikane Bapak.
Seiring berjalannya waktu, aku pernah
mengidolakan betul PKS . Aku kagum berat dengan ‘beliau-beliau’ yang masih
muda-muda, agamis, dan terlihat betul kalau mereka orang-orang yang mampu
mengemban amanah. Tapi aku kecewa berat saat ada anggota bahkan ketua umum PKS
terjerat korupsi. Meski tidak semua, dan aku juga mafhum bahwa lingkaran
korupsi memang tidak memandang siapa pun juga. Kalau sudah terlibat, terjerat,
…akhirnya seperti itulah. Tapi mengapa dari PKS?
Aku pernah membaca tulisan bapak
Dahlan Iskan, di Jawa Pos, kalau tidak salah ingat, “orang tidak kecipratan oli
karena dia tidak berada di kubangan oli, itu hal biasa. Tapi orang yang tidak
kecipratan oli sedangkan dia berada di kubangan oli, itu luar biasa”.
Jadi, menurutku di Indonesia ini
memang ada sistem yang memberi peluang orang untuk korupsi. Ada kesempatan, ada
niat. Barangkali itu yang terjadi?. Tapi aku senantiasa berkhusnudzon bahwa
sebenarnya pelaku korupsi yang ditangkap itu bisa jadi satu, atau dua bahkan
tiga mungkin tidak tahu bahwa mereka telah melakukan korupsi. Semogalah begitu,
karena kalau melihat latar belakang pendidikan para birokrat, atau pun wakil
rakyat banyak juga yang jauh panggang dari api.Berdasar pengalaman hidupku,
janganlah mudah untuk memberi tanda tangan, itu saja!. Apalagi yang berkaitan
dengan anggaran. Bahaya!. Kok aku jadinya menasehati, sih? Aku iki lho sapa?
Hehehe…
Aku berangkat ke bilik coblosan
biasanya kalau pilihan presiden. Karena orangnya sudah jelas, pilihan gambarnya
juga sedikit. Aku tidak melihat partai, aku lebih suka memilih orang. Dua kali
pilihan terakhir aku memilih Pak SBY, karena aku suka saja dengan figur Pak
SBY, kharismatik begitu pendapatku.
Sebelum ini meski aku nggak begitu
suka politik, aku sempat mengidolakan Pak Anas Urbaningrum. Orangnya yang low
profile, nggantheng, punya daya tarik tersendiri. Biasalah kaum Hawa. Malah aku
sendiri dalam hati pernah bilang, kayaknya ini hlo nantinya pengganti Pak SBY
dari Partai Demokrat. Ternyata harapan itu tinggal harapan. Orang sealim
itu,…ah, kok bisa-bisanya, kecebur ke kebangan korupsi, setengah tak percaya
juga.
Kini, aku lebih suka menonton
pergerakan politik negeri tercinta ini melalui media koran dan TV. Konvensi
Demokrat yang tak kunjung usai, bahkan hingga pak Jokowi tlah direstui oleh Bu
Megawati. Kemarin-kemarin aku agak nglimpreg seperti nggak ada gairah untuk
mencermati. Tapi sekarang aku bergairah lagi. Apa karena munculnya Pak Jokowi?.
Aku ingin nantinya Konvensi Demokrat
dimenangkan Pak Dahlan Iskan, trus di pilpres bersaing dengan Pak Jokowi, dan
Pak Prabowo. Wiih,…pasti seru!! Dan aku pasti dengan semangat 45 ikutan masuk
bilik coblosan. Nyoblos, dong?!.
Untuk pileg,…ah, sepertinya,
aku…golput lagi saja. Takut kalau yang kupilih nanti nggak amanah, gimana?
Trus, kalau yang kupilih korupsi lagi. Hiii…ngeri!!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar