Ibuku Pelacur
“Seorang janda, hidup
dengan menjadi pelacur. Setiap malam dia berdoa kepada Tuhan semoga anak
cucunya mendapatkan tempat yang layak di dunia ini.namun tanpa diketahuinya,
kedua anaknya pun telah menjadi pelacur!”
Janda pelacur.Tertohok aku
oleh ucap anakku. Tidak langsung memang. Melalui memo di hpnya yang dengan tidak
sengaja kubaca. Memo itu ditulis tertanggal 23 Mei 2013, berarti saat aku sudah
resmi menjadi janda. Apa maksudnya? Kata-kata sekeji itu ditulisnya secara
vulgar. Aku tahu pasti satu-satunya janda yang dia kenal adalah aku, ibunya. Memangnya
siapa dia yang seenaknya sendiri mengatai aku, ibunya, wanita yang
melahirkannya, seorang pelacur. Baca pelacur!!! Wanita mana pun tentu tak mau
diberi label semacam itu. Aku wanita baik-baik, wanita bermartabat, wanita
terhormat. Bah! Anak tak tahu adat,…awas kalau sempat bertemu akan
kukonfrontasi dia dengan tulisannya itu.
Anakku yang sulung itu
memang pandai dalam merangkai kata-kata. Puluhan bahkan ratusan puisi dan
cerpen dia tulis, berserak di banyak tempat. Buku diari, buku pelajaran,
laptop, bahkan hp.Tidak salah jika dia masuk 15 besar LCCR yang diselenggarakan
oleh Kemendiknas tahun 2012 karena bakat menulisnya itu. Sekarang, setelah
lulus SMP dia masuk sekolah berasrama yang mengharuskan dia menanggalkan segala
benda elektronik yang dia miliki. Ya begitulah,…hingga ku baca memo itu.
Tak henti aku berpikir.
Sekeras apa pun kupikirkan aku menemui jalan buntu. Mengapa dia, anakku sendiri
mengataiku seperti itu?. Apakah karena aku diliputi kemarahan hingga hanya
kebuntuan yang kudapatkan. Anakku, anakku yang kulahirkan, kubesarkan, kubiayai
mati-matian untuk pendidikannya hanya menganggapku seperti itu?
Malam hening ini, seusai
tahajud aku merenungkan kembali isi memonya dan berbagai hal yang pernah dia
lontarkan.
“Senyum ibu itu palsu!” Begitu dia katakan saat aku tersenyum
kepada tamu sehabis menangis habis-habisan karena membaca sms mesra dari
teman wanita ayahnya. Aku memang selalu mengeluarkan air mata di hadapannya
apabila aku sedang sedih atau pun sedang menghadapi masalah. Lalu,memangnya aku
harus menunjukkan setiap isi hatiku kepada semua tamu di rumahku? Ada-ada saja!
Anak pertamaku memanglah
bagaikan saudaraku sendiri. Di sini, di tempat perantauan yang jauh dari
keluarga, dialah tempatku bercerita. Mengapa tidak bercerita ke suami? Aku
memang punya suami sebelum kami bercerai, namun aku tidak pernah bisa
mengungkap semua isi hatiku karena aku sudah tahu pasti bagaimana tanggapannya. Dia akan terkesan cuek atau hal itu bukanlah suatu masalah yang harus
dipecahkan.
“Aku ingin seperti
teman-teman yang pulang dari kerja masih sempat jalan-jalan dan belanja!” kataku suatu hari.
“Aku ingin njenengan
seperti suami Bu Kusnul yang tiap hari memandikan anak-anaknya!” kataku di
kesempatan yang lain.
“Aku ingin bisa berdandan
pukul setengah enam pagi seperti Bu Eni Purnawati, di mana saat itu suaminya
yang menyuapi sarapan bayinya!” kataku juga.
Suamiku pasti
menjawab,”Halah, …!”
“Tunjukkan apa yang ibu
rasakan, jangan dipendam saja!” Begitu dia katakan apabila aku berkeluh kesah
mengenai berbagai hal yang kualami. Dia pasti tidak merasa bahwa dengan
berkeluh kesah padanya, aku sudah mengeluarkan isi hatiku yang kupendam.
”Bisa-bisa ibu stress,
lho?” sambungnya. Sudah pernah, kutunjukkan Ndhuk, tapi siapa yang akan
merespon keinginanku? ujarku dalam hati.
“Ibu seolah-olah ingin
jadi pahlawan bagi semua orang, tapi jiwa ibu kosong.. hampa!”. Ujarnya kali
lain. Apalagi ini? Aku memang berusaha
menjadi abdi yang terbaik bagi keluarga. Suami, anak, keluarga besar, teman di
tempat kerja, tetangga,…
Aku menekan semua
keinginan pribadiku demi menjaga keutuhan istana rumah tanggaku bahkan saat
rumah tangga yang kupertahankan hancur dengan hadirnya orang ketiga.Ya, akulah
ibu yang gagal. Pahit rasanya tuk mengakui. Ibu yang gagal dalam membina rumah
tangga. Hal memalukan yang menjungkir nasibku sekejab mata.
Meski dari perpisahan
itulah aku mulai bisa menghargai diriku sendiri. Aku mulai mengerti apa yang
kubutuhkan. Aku tidak lagi melulu memenuhi semua kebutuhan orang lain. Bahkan dunia
seakan lebih mengakrabiku.
“Ibu jangan memaksaku
untuk tersenyum kepada Ayah, tukang selingkuh!” Itu yang dia katakana apabila
ayahnya datang berkunjung. Aku memang selalu menyuruh anak-anak untuk bercakap,
sekedar ngobrol. Karena aku sendiri tidak mau menemuinya lagi. Lebih memilih
mengerjakan sesuatu di belakang. “Nggak bisa aku, Bu. Ngomong begini-begitu
kalo hatiku nggak sreg!” tolaknya. Bahkan sering kulihat dia tetap mengerjakan
sesuatu meski ayahnya berusaha mengajaknya bicara. Hanya si kecillah yang masih
mau meluangkan waktu untuk ngobrol dengan ayahnya.
Pernah si kecil ditanya
oleh kakaknya, “Dhik, katanya nggak suka ayah, kok masih mau diajak bicara?” jawab adiknya,” Ibu nggak mau menemui, Mbak juga nggak mau diajak ngobrol,
tinggal aku deh yang Ayah ajak bicara, siapa lagi?”
Dalam pikiranku pelacur
adalah wanita penggoda suami orang. Mencari nafkah dengan memberi kenikmatan
kepada para hidung belang.Aku tak habis mengerti, mengapa aku dijuluki anakku
seperti itu?
Kujenguk dia di asramanya.
Tanpa basa-basi kutanyakan apa maksud tulisannya itu. “Oh,..tulisan itu, ibu
membacanya, ya?” dengan santai dia berkata seperti itu. Kutahan amarahku dalam
diamku.anakku membuka –buka file hp-nya yang kubawa tiap menjenguknya.
“Ibu, aku mengenal ibu
sejak aku bisa menatap ibu. Akulah saksi hidup bagaimana ibu begitu menderita
akibat ulah ayah tanpa pernah berontak. Aku selalu melihat senyum bahagia
dibalik derita ibu. Tersenyum dan terus tersenyum. Aku tidak suka ibu menjadi
seperti boneka tanpa perasaan. Menjalankan rutinitas dari waktu ke waktu!”
Aku diam mendengarkan. Dia
terus berkata-kata.
“Bahkan aku menganggap ibu
adalah pembantu terhormat ayah. Yang rutin dibayar tiap awal bulan. Tanpa
komplain tanpa protes. Diberi berapa pun diterima. Bahkan ibu menghabiskan
seluruh gaji ibu menyokong untuk hidup. Apa yang ibu cari dalam hidup ibu? Aku
memang ingin melihat ibu marah. Marahlah, Bu. Bahkan gading gajah pun bisa retak.
Tapi aku melihat ibu bagai patung tanpa perasaan. Seakan-akan tidak punya harga
diri. Persis pelacur. Ayah direbut wanita lain pun ibu merelakan. Bahkan tetap
tersenyum!”
Aku ternganga mendengar
khutbahnya.
Dia memang tidak pernah
tahu betapa hatiku sangat teriris kala perselingkuhan ayahnya terkuak. Betapa
aku menghabiskan hari-hariku dalam tangis tak berkesudahan saat kugugat cerai
ayahnya. Aku ingin anak-anak tahu yang baik-baik saja. Ternyata…
“Ibu dulu orangnya
munafik. Orang munafik menurutku kan sama dengan pelacur. Apa yang dikatakan,
dilakukan nggak sama dengan apa yang dia inginkan atau rasakan. Betul kan,
Bu?” urainya. “Bahkan aku dan adhik pun ibu giring untuk menjadi seperti ibu,
menyenangkan orang lain terus menerus. Boring, ah!”
Kutanya dia, ”Apakah
menurutmu sekarang pun ibu juga masih begitu?”
“Sepertinya ibu sudah nggak, deh. Ibu sudah nampak manusiawi dan berkepribadian!”, pujinya.
“Sepertinya ibu sudah nggak, deh. Ibu sudah nampak manusiawi dan berkepribadian!”, pujinya.
“Ibu belum membaca
lanjutan tulisan di memo itu?” tanyanya ringan. Lalu dia sodorkan hpnya.
“kalau membaca itu semuanya, jangan sepotong-sepotong!” lanjutnya. Kutahu dia
baru saja menambahkan tulisan di memonya itu.
Kubaca di situ... “ibuku
seorang janda pelacur yang sudah tobat meski pun agak terlambat.Tapi aku bangga
memiliki ibu! Suer…
Dingin hatiku setelah
membacanya.
Pengirim: Eni Siti Nurhayati
d.a. MIN Rejoso Peterongan Jombang
(61481)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar