Halaman

Translate

Jumat, 05 Desember 2014

Ibuku Pelacur



Ibuku Pelacur
“Seorang janda, hidup dengan menjadi pelacur. Setiap malam dia berdoa kepada Tuhan semoga anak cucunya mendapatkan tempat yang layak di dunia ini.namun tanpa diketahuinya, kedua anaknya pun telah menjadi pelacur!”

Janda pelacur.Tertohok aku oleh ucap anakku. Tidak langsung memang. Melalui memo di hpnya yang dengan tidak sengaja kubaca. Memo itu ditulis tertanggal 23 Mei 2013, berarti saat aku sudah resmi menjadi janda. Apa maksudnya? Kata-kata sekeji itu ditulisnya secara vulgar. Aku tahu pasti satu-satunya janda yang dia kenal adalah aku, ibunya. Memangnya siapa dia yang seenaknya sendiri mengatai aku, ibunya, wanita yang melahirkannya, seorang pelacur. Baca pelacur!!! Wanita mana pun tentu tak mau diberi label semacam itu. Aku wanita baik-baik, wanita bermartabat, wanita terhormat. Bah! Anak tak tahu adat,…awas kalau sempat bertemu akan kukonfrontasi dia dengan tulisannya itu.

Anakku yang sulung itu memang pandai dalam merangkai kata-kata. Puluhan bahkan ratusan puisi dan cerpen dia tulis, berserak di banyak tempat. Buku diari, buku pelajaran, laptop, bahkan hp.Tidak salah jika dia masuk 15 besar LCCR yang diselenggarakan oleh Kemendiknas tahun 2012 karena bakat menulisnya itu. Sekarang, setelah lulus SMP dia masuk sekolah berasrama yang mengharuskan dia menanggalkan segala benda elektronik yang dia miliki. Ya begitulah,…hingga ku baca memo itu.
Tak henti aku berpikir. Sekeras apa pun kupikirkan aku menemui jalan buntu. Mengapa dia, anakku sendiri mengataiku seperti itu?. Apakah karena aku diliputi kemarahan hingga hanya kebuntuan yang kudapatkan. Anakku, anakku yang kulahirkan, kubesarkan, kubiayai mati-matian untuk pendidikannya hanya menganggapku seperti itu?
Malam hening ini, seusai tahajud aku merenungkan kembali isi memonya dan berbagai hal yang pernah dia lontarkan.
“Senyum ibu itu palsu!” Begitu dia katakan saat aku tersenyum  kepada tamu sehabis menangis habis-habisan karena membaca sms mesra dari teman wanita ayahnya. Aku memang selalu mengeluarkan air mata di hadapannya apabila aku sedang sedih atau pun sedang menghadapi masalah. Lalu,memangnya aku harus menunjukkan setiap isi hatiku kepada semua tamu di rumahku? Ada-ada saja!
Anak pertamaku memanglah bagaikan saudaraku sendiri. Di sini, di tempat perantauan yang jauh dari keluarga, dialah tempatku bercerita. Mengapa tidak bercerita ke suami? Aku memang punya suami sebelum kami bercerai, namun aku tidak pernah bisa mengungkap semua isi hatiku karena aku sudah tahu pasti bagaimana tanggapannya. Dia akan terkesan cuek atau hal itu bukanlah suatu masalah yang harus dipecahkan.
“Aku ingin seperti teman-teman yang pulang dari kerja masih sempat jalan-jalan dan belanja!” kataku suatu hari.
“Aku ingin njenengan seperti suami Bu Kusnul yang tiap hari memandikan anak-anaknya!” kataku di kesempatan yang lain.
“Aku ingin bisa berdandan pukul setengah enam pagi seperti Bu Eni Purnawati, di mana saat itu suaminya yang menyuapi sarapan bayinya!” kataku juga.
Suamiku pasti menjawab,”Halah, …!”
“Tunjukkan apa yang ibu rasakan, jangan dipendam saja!” Begitu dia katakan apabila aku berkeluh kesah mengenai berbagai hal yang kualami. Dia pasti tidak merasa bahwa dengan berkeluh kesah padanya, aku sudah mengeluarkan isi hatiku yang kupendam.
”Bisa-bisa ibu stress, lho?” sambungnya. Sudah pernah, kutunjukkan Ndhuk, tapi siapa yang akan merespon keinginanku? ujarku dalam hati.
“Ibu seolah-olah ingin jadi pahlawan bagi semua orang, tapi jiwa ibu kosong.. hampa!”. Ujarnya kali lain.  Apalagi ini? Aku memang berusaha menjadi abdi yang terbaik bagi keluarga. Suami, anak, keluarga besar, teman di tempat kerja, tetangga,…
Aku menekan semua keinginan pribadiku demi menjaga keutuhan istana rumah tanggaku bahkan saat rumah tangga yang kupertahankan hancur dengan hadirnya orang ketiga.Ya, akulah ibu yang gagal. Pahit rasanya tuk mengakui. Ibu yang gagal dalam membina rumah tangga. Hal memalukan yang menjungkir nasibku sekejab mata.
Meski dari perpisahan itulah aku mulai bisa menghargai diriku sendiri. Aku mulai mengerti apa yang kubutuhkan. Aku tidak lagi melulu memenuhi semua kebutuhan orang lain. Bahkan dunia seakan lebih mengakrabiku.
“Ibu jangan memaksaku untuk tersenyum kepada Ayah, tukang selingkuh!” Itu yang dia katakana apabila ayahnya datang berkunjung. Aku memang selalu menyuruh anak-anak untuk bercakap, sekedar ngobrol. Karena aku sendiri tidak mau menemuinya lagi. Lebih memilih mengerjakan sesuatu di belakang. “Nggak bisa aku, Bu. Ngomong begini-begitu kalo hatiku nggak sreg!” tolaknya. Bahkan sering kulihat dia tetap mengerjakan sesuatu meski ayahnya berusaha mengajaknya bicara. Hanya si kecillah yang masih mau meluangkan waktu untuk ngobrol dengan ayahnya.
Pernah si kecil ditanya oleh kakaknya, “Dhik, katanya nggak suka ayah, kok masih mau diajak bicara?” jawab adiknya,” Ibu nggak mau menemui, Mbak juga nggak mau diajak ngobrol, tinggal aku deh yang Ayah ajak bicara, siapa lagi?”
Dalam pikiranku pelacur adalah wanita penggoda suami orang. Mencari nafkah dengan memberi kenikmatan kepada para hidung belang.Aku tak habis mengerti, mengapa aku dijuluki anakku seperti itu?
Kujenguk dia di asramanya. Tanpa basa-basi kutanyakan apa maksud tulisannya itu. “Oh,..tulisan itu, ibu membacanya, ya?” dengan santai dia berkata seperti itu. Kutahan amarahku dalam diamku.anakku membuka –buka file hp-nya yang kubawa tiap menjenguknya.
“Ibu, aku mengenal ibu sejak aku bisa menatap ibu. Akulah saksi hidup bagaimana ibu begitu menderita akibat ulah ayah tanpa pernah berontak. Aku selalu melihat senyum bahagia dibalik derita ibu. Tersenyum dan terus tersenyum. Aku tidak suka ibu menjadi seperti boneka tanpa perasaan. Menjalankan rutinitas dari waktu ke waktu!”
Aku diam mendengarkan. Dia terus berkata-kata.
“Bahkan aku menganggap ibu adalah pembantu terhormat ayah. Yang rutin dibayar tiap awal bulan. Tanpa komplain tanpa protes. Diberi berapa pun diterima. Bahkan ibu menghabiskan seluruh gaji ibu menyokong untuk hidup. Apa yang ibu cari dalam hidup ibu? Aku memang ingin melihat ibu marah. Marahlah, Bu. Bahkan gading gajah pun bisa retak. Tapi aku melihat ibu bagai patung tanpa perasaan. Seakan-akan tidak punya harga diri. Persis pelacur. Ayah direbut wanita lain pun ibu merelakan. Bahkan tetap tersenyum!”
Aku ternganga mendengar khutbahnya.
Dia memang tidak pernah tahu betapa hatiku sangat teriris kala perselingkuhan ayahnya terkuak. Betapa aku menghabiskan hari-hariku dalam tangis tak berkesudahan saat kugugat cerai ayahnya. Aku ingin anak-anak tahu yang baik-baik saja. Ternyata…
“Ibu dulu orangnya munafik. Orang munafik menurutku kan sama dengan pelacur. Apa yang dikatakan, dilakukan nggak sama dengan apa yang dia inginkan atau rasakan. Betul kan, Bu?” urainya. “Bahkan aku dan adhik pun ibu giring untuk menjadi seperti ibu, menyenangkan orang lain terus menerus. Boring, ah!”
Kutanya dia, ”Apakah menurutmu sekarang pun ibu juga masih begitu?” 
“Sepertinya ibu sudah nggak, deh. Ibu sudah nampak manusiawi dan berkepribadian!”, pujinya.
“Ibu belum membaca lanjutan tulisan di memo itu?” tanyanya ringan. Lalu dia sodorkan hpnya. “kalau membaca itu semuanya, jangan sepotong-sepotong!” lanjutnya. Kutahu dia baru saja menambahkan tulisan di memonya itu.
Kubaca di situ... “ibuku seorang janda pelacur yang sudah tobat meski pun agak terlambat.Tapi aku bangga memiliki ibu! Suer…
Dingin hatiku setelah membacanya.

Pengirim: Eni Siti Nurhayati
                  d.a. MIN Rejoso Peterongan Jombang (61481)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar