Kerinduanku
pada 27 April, membuncah kembali di saat aku mendengarkan senandung tembang
lama, seolah-olah baru kemarin kami mendengarkannya bersama-sama. Ah, masa
kiranya tlah lama berlalu. Dua puluh tahun bukan waktu yang pendek untuk
melupakannya. Tapi di sini di satu sisi gelap hatiku masih terpatri namanya.
Andai aku bisa bertemu, apa yang kan kuucapkan?
…
Gedung
lama MA Fillial, Desember 1991
Aku melihatmu pertama kali, saat aku
diajak Sulis ke gedung lama madrasah . Maklum kelas satu sudah menempati gedung
baru. Oh ya aku juga baru pindah dari salah satu SMA favorit di kota Lumajang,
Karena kena sakit yang lumayan parah, setelah sembuh dipindah deh oleh bapakku
biar dekat dari rumah.
Aku bertanya-tanya siapa sih dia?,
seolah-olah dia sudah mengenalku. Bilangmu,”Salam dari tanteku, guru Bahasa
Indonesiamu di SMP 1”.
“Kok tahu sih, kalo aku…?”
“Anak sini udah tahu, kalo akan ada
murid baru, diberitahu Pak Waka kurikulum”,ujar Sulis menjawab keherananku.
Ruang
BP darurat di masa peralihan gedung MA Fillial, 01 Desember 1992
“Kenapa kamu menjauhiku,Nok?”, ujarmu
siang itu saat akan latihan pramuka.Kubilang saja, kemarin aku dipanggil Guru
BP, dan diwejangi puaaanjang lebar bahwa berteman itu harus menjaga jarak.
Nggak boleh lebih!!!. Eh, sehabis ngedengerin kata-kataku kamu memberiku kado
ultah rangkaian bunga plus bunga Edelweis. Duuuh,… melambung aku. Ada suratnya
lagi. Lupa deh, semua nasihat Guru BP.
Pantai
Watu Ulo, penghujung Juni 1993
“Nok, aku sekarang bagaikan
layang-layang di langit yang bisa putus sewaktu-waktu”, katamu.
“Kalau aku mengikat kencang talinya,
apakah tetap akan putus?”, ucapku.
“Aku tak bisa memberikan harapan
apapun padamu!”, jawabmu tanpa sedetik pun melepas pandang dari langit.
Aku tahu waktu kebersamaan kami memang
sudah waktunya berakhir. Pertemanan yang indah, teramat indah, di masa-masa
akhir pertemuan kami di madrasah aliyah.
Rumahku,
Kecik village, awal Juli 1994
“Mengapa kamu memilih jurusan D2 di
PMDK?, sepertinya kok kurang bergengsi, Nok!”, ujarmu kala tahu aku diterima di
jurusan diploma PGSD. Kamu sengaja berkunjung dari kota lumpia asalmu ke
rumahku untuk mengabarkan itu.
“Mungkin aku berjodoh untuk jadi guru”,
jawabku. Saat itu aku juga sudah dengar bahwa kamu diterima di jurusan kimia
setelah setahun cuti sekolah melalui jalur tes.
“Eman,
Nok. Kamu kan pandai. Pilih jurusan lain yang S1 kan bisa!”, sesalmu. Aku hanya diam. Andai aku bisa mengatakan, bahwa
kita ini masih berasal dari madrasah filial, yang notabene belum mendapat
kepercayaan dari PTN mana pun terkait PMDK. Aku kecanthol di D2 mungkinlah akan
bisa menjadi tali panjatan adik-adik kelasku. Tapi faktor utamanya sih, memang
aku ingin jadi guru seperti bapakku.
Dan
inilah aku sekarang, memang jadi guru. Namun tak bertakdir untuk langgeng
berteman denganmu. Bahkan dengan
seseorang yang kutahbiskan untuk jadi suamiku pun aku tak langgeng juga.
Inikah
takdir?
Dapatkah
ku menolak takdir?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar