Halaman

Translate

Sabtu, 18 April 2015

Rindu Terlarang



Kerinduanku pada 27 April, membuncah kembali di saat aku mendengarkan senandung tembang lama, seolah-olah baru kemarin kami mendengarkannya bersama-sama. Ah, masa kiranya tlah lama berlalu. Dua puluh tahun bukan waktu yang pendek untuk melupakannya. Tapi di sini di satu sisi gelap hatiku masih terpatri namanya. Andai aku bisa bertemu, apa yang kan kuucapkan?
Gedung lama MA Fillial, Desember 1991
          Aku melihatmu pertama kali, saat aku diajak Sulis ke gedung lama madrasah . Maklum kelas satu sudah menempati gedung baru. Oh ya aku juga baru pindah dari salah satu SMA favorit di kota Lumajang, Karena kena sakit yang lumayan parah, setelah sembuh dipindah deh oleh bapakku biar dekat dari rumah.
          Aku bertanya-tanya siapa sih dia?, seolah-olah dia sudah mengenalku. Bilangmu,”Salam dari tanteku, guru Bahasa Indonesiamu di SMP 1”.
          “Kok tahu sih, kalo aku…?”
          “Anak sini udah tahu, kalo akan ada murid baru, diberitahu Pak Waka kurikulum”,ujar Sulis menjawab keherananku.

Ruang BP darurat di masa peralihan gedung MA Fillial, 01 Desember 1992
          “Kenapa kamu menjauhiku,Nok?”, ujarmu siang itu saat akan latihan pramuka.Kubilang saja, kemarin aku dipanggil Guru BP, dan diwejangi puaaanjang lebar bahwa berteman itu harus menjaga jarak. Nggak boleh lebih!!!. Eh, sehabis ngedengerin kata-kataku kamu memberiku kado ultah rangkaian bunga plus bunga Edelweis. Duuuh,… melambung aku. Ada suratnya lagi. Lupa deh, semua nasihat Guru BP.
         
Pantai Watu Ulo, penghujung Juni 1993
          “Nok, aku sekarang bagaikan layang-layang di langit yang bisa putus sewaktu-waktu”, katamu.
          “Kalau aku mengikat kencang talinya, apakah tetap akan putus?”, ucapku.
          “Aku tak bisa memberikan harapan apapun padamu!”, jawabmu tanpa sedetik pun melepas pandang dari langit.
          Aku tahu waktu kebersamaan kami memang sudah waktunya berakhir. Pertemanan yang indah, teramat indah, di masa-masa akhir pertemuan kami di madrasah aliyah.

Rumahku, Kecik village, awal Juli 1994
          “Mengapa kamu memilih jurusan D2 di PMDK?, sepertinya kok kurang bergengsi, Nok!”, ujarmu kala tahu aku diterima di jurusan diploma PGSD. Kamu sengaja berkunjung dari kota lumpia asalmu ke rumahku untuk mengabarkan itu.
          “Mungkin aku berjodoh untuk jadi guru”, jawabku. Saat itu aku juga sudah dengar bahwa kamu diterima di jurusan kimia setelah setahun cuti sekolah melalui jalur tes.
“Eman, Nok. Kamu kan pandai. Pilih jurusan lain yang S1 kan bisa!”, sesalmu. Aku  hanya diam. Andai aku bisa mengatakan, bahwa kita ini masih berasal dari madrasah filial, yang notabene belum mendapat kepercayaan dari PTN mana pun terkait PMDK. Aku kecanthol di D2 mungkinlah akan bisa menjadi tali panjatan adik-adik kelasku. Tapi faktor utamanya sih, memang aku ingin jadi guru seperti bapakku.
Dan inilah aku sekarang, memang jadi guru. Namun tak bertakdir untuk langgeng berteman  denganmu. Bahkan dengan seseorang yang kutahbiskan untuk jadi suamiku pun aku tak langgeng juga.
Inikah takdir?
Dapatkah ku menolak takdir?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar